Minimnya Ruang untuk Seniman “Jalanan” Berkarya di Jakarta.
Karya lukis yang seharusnya dapat dipresentasikan disebuah ruang yang pantas malah harus terbuang sembarangan di jalanan. Seni lukis di tembok jalanan memunculkan dua hal. Terlihat indah atau bagus dan disebut atau justru dianggap jelek karena merusak fasilitas umum. Seni lukis yang ada di dinding-dinding dan tak sesaui pada lingkungan atau tempatnya hingga dapat merusak fasilitas ataupun merusak pandangan adalah sebuah aksi yang disebut sebagai Vandalisme.
Vandalisme sendiri bila diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya)” atau “perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas”. Aksi ini belakang hanya mencari kehebohan ataupun eksistensi diri pada masyarakat namun tujuannya tidak bermanfaat. Mungkin saja jika aksi vandalisme berupa gambar mural di kota tersebut bertujuan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah melalui karya seni lukis mereka itu mungkin lebih baik dan juga lebih bermanfaat jika bakat mereka dialokasikan di tempat yang sudah disediakan agar tidak mengganggu pemandangan wajah ibu kota.
Motifnya bisa untuk mengekspresikan kebencian atau balas dendam dan untuk memanjakan diri sendiri dengan menghancurkan sesuatu dan mengganggu orang lain. Aspek ini bermula dari dalam diri sendiri (intrinsik), seringkali bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu memberikan ideologi dan kemudian semangat untuk mencintai diri sendiri dengan cara membuat orang lain tidak nyaman. Salah satunya juga karena minimnya tempat untuk mereka dapat mengapresiasikan karya-karyanya yang mungkin malah sangat pantas untuk dipamerkan kepada khalayak seni yang seharusnya.
Kebanyakan karya vandalisme itu berupa Graffiti ataupun mural dinding yang merusak dengan kata-kata atau visual yang mengejek ataupun menyindir ujaran kebencian kepada suatu kelompok bahkan pemerintah. Namun banyak juga karya-karya Graffiti dan mural yang bagus dan sangat layak untuk mendapatkan tempat yang sepantasnya. Minimnya fasilitas atau ruang bagi Graffiti dan mural jalanan itu yang seharusnya dapat menjadikan motivasi bagi pemerintah atau suatu kelompok berwenang yang mampu dan mau membangun sebuah kawasan atau tempat yang memadai bagi para seniman jalanan.
“Graffiti art itu mengkonsep apa yang ingin dia gambar dan mengurus izinnya. Itu legal. Seperti beberapa skatepark atau seperti saya yang di jembatan Kedungkandang, itu legal. Kalau Vandal itu perilaku ilegal yang memang tanpa izin dan tidak terkonsep untuk gambarnya,” jelas Seniman Graffiti asal Malang, Jidoet.
“Mural di Malang lebih dominan ke anak kampus ya. Tumbuhnya mural di Malang itu dari wilayah kampus dan tidak semua turun di jalan,” katanya.
Mural, kata Jidoet, lebih terkonsep dan para pelakunya jarang menggunakan perilaku vandalisme. Hal itu dikarenakan memang mereka para pelaku mural yang sudah terbentuk dari komunitas kampus atau seniman kampus memamerkan melalui perform art ataupun pameran.
Sebenarnya Graffiti dan mural diartikan sebagai seni, jika mampu menuangkan ide dan gagasannya ke objek yang tepat, tidak mengganggu apalagi sampai merusak karya atau barang lain. Namun kini Grafiti sudah memiliki image buruk di mata masyarakat maupun pemerintah dan penegak hukum. Grafiri ilegal bahkan bisa berujung masuk bui. Grafiti yang termasuk aksi vandalisme dikategorikan sebagai tindak kriminal karena sebagaimana diatur beberapa pasal dalam KUHP yang berbunyi:
Pasal 406 ayat (1)
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 408
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai bangunan-bangunan kereta api trem, telegrap, telepon atau listrik, atau bangunan bangunan untuk membendung, membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau saluran yang digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 489 ayat (1)
“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.”
Mungkin jika bukan dari pemerintah, kita dapat mengambil contoh dari sebuah kelompok Graffiti di Palu yang dapat mengembangkan seni yang disebut-sebut “Vandalisme” ini sebagai sebuah prestasi yang mengharumkan nama anak bangsa.
Komunitas ini bermula dari obrolan dan diskusi dari sekitar 20-an orang muda Kota Palu yang punya minat pada grafiti. Saat itu, mereka merasa ada kekosongan wadah yang bisa menampung hobi grafiti di Kota Palu. Demi mengisi kekosongan itu. Satu dekade berselang, komunitas ini masih eksis. Karya-karya mereka terpampang pada sejumlah titik di Kota Palu. Misalnya di Jalan Gunung Sidole, pada dinding samping Kantor RRI Kota Palu. Karya-karya itu memuat pesan-pesan sosialisasi seputar Pemilihan Kepala Daerah 2020. Maklum karya seni itu dikerjakan lewat kerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kami mural di tembok RRI sekitar 2019. Itu punyanya KPU. Pada 2017 juga pernah dapat izin dari RRI, dan dari Dinas Pekerjaan Umum,” ujar Malic Aero Crew (MAC), salah seorang pegiat Palu Grafiti, yang berkomunikasi dengan Tutura.Id lewat WhatsApp, Jumat (14/7/2023).
MAC menyebut bahwa Palu Graffiti lebih suka buat gambar dengan perizinan. Seperti yang mereka lakukan sepanjang April-Mei 2023. Dalam kurun waktu lebih dari sebulan, mereka menggelar bombing massal di Jembatan Palu V alias Jembatan Lalove.
Dari satu aksi dimana masyarakat berstigma negative tentang itu, dengan kemauan serta tekad untuk membuktikan bahwa Graffiti dan mural “jalanan” adalah sebuah seni yang harus diapresiasikan juga, bahwa kita sebagai pemuda GenZ yang seharusnya mengharmonisasikannya apalagi di Ibu Kota Jakarta dengan label JAKARTA KOLABORASI, yang menyimbolkan kita harus berkolaborasi untuk mebuat Jakarta sepenuhnya terbebas pula dari aksi vandalisme yang tak diinginkan.
–
Alifa Sarha Fasha
Mahasiswa Telkom University Jakarta